Umat Kristiani dari berbagai Gereja di Filipina akan menjadi ujung tombak protes “anti-kediktatoran” di Manila pada 21 September untuk menandai peringatan ke-46 deklarasi darurat militer oleh almarhum diktator Ferdinand Marcos.
Marcos mengumumkan darurat militer pada 21 September 1972, yang tetap berlaku hingga tahun 1981.
Para pemimpin Gereja mengatakan demonstrasi itu bukan bagian dari apa yang digambarkan juru bicara pemerintah adalah “pemufakatan destabilisasi besar” dengan mengkritik Presiden Rodrigo Duterte.
Tahun lalu, Duterte meliburkan sekolah pemerintah pada 21 September setelah mengumumkan peringatan Hari Protes Nasional, namun, metode dan gayanya telah berubah secara signifikan tahun ini
Nardy Sabino dari kelompok aktivis mengatakan, “keinginan presiden yang mendara daging sangat mempengaruhi reputasi dan stabilitas ekonomi” negara itu.
“Kami harus membela kebenaran dan memaksa pemerintahan Duterte bertanggung jawab atas pelanggaran HAM dan salah urus ekonomi,” kata Sabino, mengacu pada perang mematikan terhadap pengguna narkoba yang telah menelan ribuan korban, lanjut kelompok-kelompok HAM.
Uskup Auksiliar Manila, Mgr Broderick Pabillo, sebelumnya menyerukan agar para warga yang bergabung dengan pengunjukrasa, mengatakan, “dalam demokrasi sehat, harus ada oposisi yang kuat terhadap penyalahgunaan kekuasaan.”
Prelatus itu mengatakan bahwa klaim destabilisasi oleh juru bicara pemerintah adalah “penggunaan orangtua yang kuat ketika mereka mendarat di air panas.”
Para pemimpin awam Katolik, imam, seminaris, dan biarawati akan memulai unjuk rasa dengan perayaan Misa di Gereja San Agustin yang bersejarah di kota Walled Intramuros.
Umat Kristen Protestan akan mengadakan kebaktian terpisah di Gereja Methodis yang berjarak beberapa kilometer jauhnya dari Manila.
Mereka kemudian akan bertemu dengan mahasiswa, pekerja, dan sektor lain untuk unjuk rasa “Persatuan Rakyat Menentang Kediktatoran” di Luneta Park.
Dalam pidato yang disiarkan televisi pada 11 September, Duterte menantang para pengunjuk rasa untuk menggelar unjuk rasa “teruskan unjuk rasa, Anda bersatu … lalu Anda meluncurkan kudeta.”
Kelompok-kelompok aktivis mengatakan klaim presiden dari persekongkolan destabilisasi adalah “kebingungan yang berlebihan.”
“Ungkapan paranoid Duterte tentang dugaan aliansi dan rencana pengusiran hanyalah upaya menyedihkan untuk mengalihkan perhatian rakyat Filipina dari masalah yang mendesak,” kata pemimpin pemuda Einstein Recedes.
Aksi Rakyat Bersatu, sebuah aliansi dari berbagai kelompok yang mengorganisir demonstrasi besar-besaran pada 21 September, mengatakan “melawan tirani bukanlah destabilisasi.”
“Tidak ada ‘destabilisasi besar-besaran’ pada 21 September. Hanya ada satu titik simpul gabungan melawan kediktatoran, dulu dan sekarang,” demikian bunyi pernyataan kelompok itu.