UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Perempuan bangun kerukunan di tengah sentimen anti-Muslim di Myanmar

Pebruari 27, 2017

Perempuan bangun kerukunan di tengah sentimen anti-Muslim di Myanmar

Sebuah kelompok perempuan lintas agama menyiapkan makanan untuk anak-anak di sebuah vihara Buddha dekat bantaran Sungai Irrawaddy di Mandalay pada 20 Desmeber 2015.

 

Tin Tin Aye, seorang ibu rumah tangga Muslim, dibesarkan di lingkungan umat Buddha, Kristen dan Hindu di Myanmar dan dia sering mengunjungi gereja-gereja dan kuil-kuil Hindu bersama teman-temannya pada masa kecil.

Dekat rumah orangtuanya, sebuah masjid, pagoda Buddha, gereja Katolik dan kuil Hindu yang terletak berdampingan di pusat kota Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar.

“Saya melupakan agama saya saat berinteraksi dengan umat Buddha, Kristen dan Hindu dan saya melihat mereka sebagai teman-teman saya,” kata Tin Tin Aye, yang bekerja sebagai pemandu wisata, kepada ucanews.com.

Tin Tin Aye telah bergabung dengan kelompok lintas agama perempuan itu, yang didirikan tahun 2007 oleh Suster Kathleen Geaney, seorang biarawati Colomban asal Irlandia.

“Ini adalah suatu istimewa bagi saya karena saya lebih mengenal agama-agama lain dengan berpartisipasi dalam kelompok lintas agama,” kata ibu dua anak itu.

Sementara Tin Tin Aye dan para perempuan dari berbagai agama berusaha membangun kerukunan antaragama, Mandalay terguncang oleh kekerasan anti-Muslim pada Juli 2014 yang menewaskan dua orang dan belasan luka-luka.

Sentimen anti-Muslim juga telah memicu konflik di Negara Bagian Rakhine, di mana kekerasan tahun 2012 menewaskan lebih dari 200 orang dan memaksa puluhan ribu orang – kebanyakan Muslim Rohingya – meninggalkan rumah-rumah mereka. Baru-baru ini pasukan keamanan melakukan tindakan represif setelah tiga pos polisi diserang di Rakhine. Kekerasan ini menyebabkan lebih dari 69.000 orang melarikan diri ke Banglades dan 24.000 orang terlantar di negara itu.

0227bCynthia Yin Yin Ohn, seorang Katolik dari kelompok lintas agama perempuan, menyalurkan beras kepada para siswa di sebuah biara Buddha di dekat sungai Irrawaddy, Mandalay, pada 20 Desember 2015.

 

Kini Tin Tin Aye khawatir dengan keamanan keluarganya, tapi dia mengatakan bahwa hubungannya dengan wanita dari berbagai agama tidak akan terpengaruh oleh kekerasan itu.

“Teman-teman Buddha kami menghibur saya dan memberi saya dukungan moral dan itu menunjukkan bahwa kami memiliki hubungan yang kuat,” katanya.

Adanya kelompok ini bertujuan menyampaikan kepada Kyin Kyin, seorang ibu rumah tangga beragama Buddha, anggota kelompok itu.

“Saya tidak curiga dan benci terhadap umat Islam,” katanya, seraya menambahkan bahwa dia sangat antusias mendukung orang lain dan memenuhi kebutuhan mereka tanpa memandang ras dan agama.

Negara mayoritas Buddha itu telah menyaksikan sejumlah serangan kekerasan agama sejak 2012 di Rakhine menyebabkan sejumlah orang tewas dan lebih dari 120.000 orang, sebagian besar warga Rohingya, mengungsi. Kekerasan itu dipelopori oleh kelompok garis keras Buddha, Komite Perlindungan Ras dan Agama atau Ma Ba Tha.

0227cKyin Kyin, seorang Buddhis (berbaju hijau), Cynthia Yin Yin Ohn, seorang Katolik (tengah) dan Tin Tin Aye, seorang Muslim, bercerita di kantor Katedral Hati Kudus, Mandalay pada 21 Februari.

 

Kebencian terhadap Muslim di media sosial tetap terjadi meskipun pemerintah sipil Aung San Suu Kyi mulai menjabat pada April 2016 mengakhiri puluhan tahun kekuasaan militer.

Kardinal Charles Maung Bo, Uskup Agung Yangon mengatakan kebencian terhadap orang lain dari berbagai ras dan agama telah mencapai “tingkat yang sangat mengkhawatirkan.”

Sebanyak 37 wanita Buddha, Kristen dan Muslim telah bergabung dengan kelompok lintas agama di mana mereka membangun persahabatan melalui kegiatan rutin, program penjangkauan dan pelatihan.

Kelompok itu menjalankan program keuangan mikro, dukungan pendidikan, program anak-anak cacat dan menyediakan makanan untuk masyarakat miskin perkotaan.

“Kelompok perempuan kami perlahan-lahan maju dengan tujuan membangun kerukunan antaragama dan saya membiarkan anggota inti menjalankan program itu sendiri,” kata Suster Geaney, pendiri kelompok itu, kepada ucanews.com.

0227dSuster Kathleen Geaney bersama dengan kelompok perempuan lintas agama menyediakan nasi untuk siswa miskin di biara Buddha di dekat sungai Irrawaddy di Mandalay pada 20 Desember 2015.

 

Cynthia Yin Yin Ohn, seorang ibu rumah tangga Katolik, mengatakan bahwa mereka berupaya membuat jaringan usaha bersama 37 perempuan lintas agama.

“Umat Buddha dan Muslim bertemu di gereja dan umat Kristen dan Muslim pergi ke vihara dan berbicara dengan para biarawan Buddha sebagai akibat dari persahabatan kami,” kata Yin Yin Ohn, seorang ibu dari dua anak, kepada ucanews.com.

Dia menambahkan bahwa tidak ada diskriminasi antara perempuan dan mereka berdoa bersama sesuai dengan agama masing-masing setiap kali mereka melakukan kegiatan, meditasi atau pergi berkunjung.

“Kami seperti keluarga. Kami berbagi kebahagiaan dan tantangan kami bersama. Kami semua perlu bergabung bersama-sama masyarakat yang damai dan harmonis,” kata Yin Yin Ohn.

Umat Muslim meniliki 4,3 persen dari negara berpenduduk mayoritas Buddha, menurut 2014 sensus. Umat Muslim pertama tiba pada abad ke-9 dan sebagian besar dari India, keturunan Cina atau Pathi. Kristen memiliki 6 persen.

Sumber: ucanews.com

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi