UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Kamis Putih dan potret pemimpin sejati

April 5, 2012

Kamis Putih dan potret pemimpin sejati

Ryan Dagur

Hari ini, Kamis 5 April, umat Katolik di seluruh dunia merayakan Kamis Putih, sebuah upacara untuk mengenang Perjamuan Terakhir Yesus Kristus bersama kedua belas murid-Nya. Kamis Putih menjadi momen penting dalam rangkaian Trihari Suci yang dikenang umat Kristiani setiap tahun.

Salah satu hal yang istimewa dari upacara Kamis Putih adalah acara pembasuhan kaki. Upacara ini bermaksud mengenang kembali bagaimana dahulu Yesus membasuh kaki para murid-Nya. Dalam Misa Kamis Putih hal ini akan dilakukan lagi, di mana imam yang memimpin Misa membasuh kaki 12 rasul yang dipilih dari kalangan umat awam.

Peristiwa ini mengesankan dan menginspirasi karena yang dirayakan adalah sebuah momen dimana Yesus yang adalah Anak Allah mau “dengan rela, atas kehendak sendiri” memilih membasuh kaki murid-Nya.

Lewat peristiwa itu Yesus mau membongkar dan mengoreksi kebiasan lama dalam tradisi Yahudi, dimana Guru atau pemimpinlah yang selalu dilayani oleh para murid. Dan, dalam kacamata para rasul saat itu, adalah sebuah hal baru bahwa Yesus yang mereka anggap sebagai Guru itu mau membasuh kaki mereka.

Apa yang dilakukan Yesus menjadi kritikan sekaligus mengubah cara pandang para murid tentang “bagaimana seharusnya menjadi pemimpin”. Atau dalam rumusan lain, tindakan Yesus mengajarkan sebuah keutamaan yang mestinya ada dalam diri seorang pemimpin, yakni pemimpin yang mau membasuh kaki mereka yang dilayani, pemimpin yang tidak pasif hanya mau dilayani, tetapi pemimpin yang aktif, yang memilih untuk melayani.

Menjadi pemimpin yang melayani tentu menjadi harapan kita semua. Dan kiranya, model pemimpin sejati yang sudah ditunjukkan oleh Yesus, tidak hanya menjadi cita-cita khas Kristiani, tetapi juga menjadi sesuatu yang universal. Itu artinya, gaya kepemimpinan seperti yang ditampilkan oleh Yesus juga dikehendaki dan menjadi cita-cita semua orang dari berbagai latar belakang.

Indonesia Kita

Mengamati pemimpin-pemimpin kita di Indonesia saat ini, apakah keutamanan sebagai pemimpin yang melayani, sebagaimana ditunjukkan Yesus, sungguh-sungguh telah hidup?

Bukan tanpa dasar, bila kita menganggap pemimpin kita masih belum sepenuhnya seperti itu. Pemimpin-pemimpin kita masih belum menganggap jabatan sebagai mandat untuk melayani, mengabdi kepada kepentingan publik. Jabatan masih dilihat sebagai semata-mata kesempatan untuk berkuasa dan menebar pengaruh.

Tentu, jabatan selalu menyangkut kesempatan untuk mengusai. Semua pemimpin sudah seharusnya jujur mengakui bahwa motivasi mereka meraih kursi jabatan, entah Presiden, Bupati, DPR, bahkan pemimpin Agama sekalipun tak bisa lepas dari intensi will to power atau kehendak untuk berkuasa.

Kekuasaan itu sendiri tak salah. Tapi ia bisa berakibat fatal bila aktornya memanfaatkan kekuasaan itu secara keliru, bila kekuasaan diarahkan bukan pada upaya pencapaian kebaikan bersama, tetapi hanya pada kepentingan terbatas individu atau kelompok.

Yang terjadi di Indonesia, kekuasaan itu belum sepenuhnya diabdikan pada kepentingan semua. Gaya pemimpin kita masih dikuasai oleh hasrat atau naluri untuk mempertahankan kekuasaan itu dan memuaskan kepentingan partai, massa atau kelompok yang mendukung, meski dengan itu, prinsip mengabdi kepada kepentingan rakyat banyak tidak ditaati.

Peristiwa hari ini yang dirayakan oleh umat Kristiani mengandung intensi memuliakan gaya kepemimpinan yang melayani, sebagaimana ditunjukkan Yesus.

Bisahkah hal ini dihidupkan di Indonesia kita? Untuk mencapai hal itu, butuh reformasi pemahaman kita tentang pemimpin. Bahwa pemimpin tidak hanya bertugas menduduki kursi jabatan dan menikmati kenyamanan fasilitas. Memimpin berarti memangku jabatan. Dan itu berarti, di situ ada tuntutan untuk bertanggung jawab kepada publik yang telah memberi kita kesempatan untuk berkuasa.

Pemimpin yang menyalahgunakan kesempatan untuk berkuasa adalah pemimpin yang mestinya sudah memilih melepaskan kuasa itu. Karena apalah gunanya berkuasa bila kesempatan untuk berkuasa itu gagal dimanfaatkan sepenuhnya untuk mengabdi pada publik.

Memimpin selalu berarti mengabdi. Bila kesadaran seperti ini hilang, maka kita akan selalu berada ditepi kehancuran tujuan mencapai cita-cita kehidupan bersama. Dan juga kita sedang berkubang terus dalam kebiasaan salah, mengkhianati hakikat dasar pemimpin yang sejati, yang telah diteladani oleh Yesus Kristus.

Ryan Dagur adalah seorang jurnalis tinggal di Jakarta

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi