UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Pertukaran Jepang-Korea atasi prasangka

Maret 4, 2010

Pertukaran Jepang-Korea atasi prasangka

Mahasiswa Jepang dan Korea bernyanyi dan menari dalam sebuah program pertukaran sebelumnya

TOKYO (CNI) – Pertemuan mahasiswa Katolik Jepang-Korea turut membangun saling pengertian tentang masyarakat satu sama lain dan pada akhirnya bisa menghentikan pengalaman sejarah yang menyakitkan.

Dua puluh empat orang muda Katolik Jepang dan 25 orang muda Korea ikut dalam pertemuan tahunan ke-16 Catholic Japan-Korean Students’ Exchange Program yang diselenggarakan 23-28 Februari di Tokyo, demikian UCA News. Program ini diselenggarakan secara bergantian di Jepang dan Korea.

“Kita harus mengatasi segala hambatan dan menemukan ikatan bersama kita sebagai saudara. Melalui program pertukaran ini, saya berharap kita semua merasa bahwa Gereja di Korea dan di Jepang tidak terisolasi satu sama lain,” kata Uskup Auksilier Tokyo Mgr James Kazuo Koda kepada peserta dalam Misa di Paroki Seijo di Tokyo pada awal program itu.

Malam itu dan selanjutnya, para mahasiswa Jepang dan Korea itu dipasangkan untuk menginap di keluarga yang bersedia menerima mereka sebagai tuan rumah. Hampir semua keluarga angkat itu adalah umat Paroki Seijo.

Naoya Takagi, 19, mahasiswa asal Jepang, mengatakan bahwa ia dan temannya “menjadi sangat dekat, bercakap-cakap dalam bahasa Inggris sampai saat tidur.” Sementara Maria Lee, 19, mahasiswi dari Korea Selatan, mengatakan, “dia adalah teman pertama saya asal Jepang.”

Pada 25 Februari, kelompok itu bertemu lagi dalam sesi sharing di pusat komunitas Katolik Kaikan Shinsei. Satu orang dari setiap negara memaparkan refleksinya, dan dalam diskusi kelompok kecil berikutnya, setiap peserta diberi kesempatan untuk bertukar pendapat.

Mahasiswa bentuk sekutu

Dalam presentasi dari peserta Jepang, pembicara bercerita tentang sebuah kunjungan “yang menyayat hati” ke sebuah museum di Korea. Museum itu memamerkan agresi historis orang Jepang. Perwakilan Korea membahas perpecahan Korea menjadi Utara dan Selatan, yang juga  menyentuh masalah-masalah historis kedua negara.

Ryoko Yoshimura, 21, dari Jepang, mengatakan ia merasa lega dan bersyukur setelah pertukaran itu. Mahasiswi ini sebelumnya khawatir bahwa kesalahan masa lalu Jepang akan menjadi poin yang menyakitkan bagi peserta Korea. “Akhirnya jelas bagi peserta Jepang bahwa masalah-masalah Korea, seperti keluarga yang terpisah, bahkan lebih serius.”

Pensiunan Uskup Auksilier Tokyo Mgr Paul Kazuhiro Mori membahas “masalah-masalah batin” yang dihadapi masyarakat Jepang, termasuk bunuh diri dan sakit mental. Peserta Korea tertarik dan memberi perbandingan dengan Korea dan mengajukan berbagai pertanyaan.

Kong Jung-Ho, 28, asal Korea, mengatakan, “hubungan Jepang-Korea selalu memiliki makna khusus. Tetapi melalui program ini, agaknya Jepang menjadi sekutu baru. Melalui hubungan semacam ini, mungkin kita bisa bergerak maju ke arah yang saling menguntungkan. ”

Pada 25 Februari malam, para peserta pergi ke Seminari Katolik Jepang Kampus Tokyo. Di sana mereka menginap sampai akhir program itu.

Perjalanan lapangan ke Tokyo dan Kamakura, pusat kekuasaan pemerintah dari abad ke-12 hingga abad ke-14, dan berbagai kegiatan lain dilakukan pada hari-hari terakhir program itu.

Pertukaran ini pertama kali dilakukan di Lourdes, Prancis, menjelang Hari Kaum Muda se-Dunia 1997 di Paris. Setelah ini, konferensi waligereja kedua negara sepakat untuk mengadakan pertukaran guna mempromosikan pemahaman yang lebih baik tentang sejarah bersama kedua negara.

Jepang menduduki Korea dari 1910 hingga akhir Perang Dunia II, tahun 1945. Korea dan negara-negara Asia lainnya yang dikuasai Jepang menyudutkan Jepang karena kekejaman pasukan Jepang di masa perang.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi