UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Kisah pilu para korban yang selamat dari Topan Haiyan

Nopember 20, 2013

Kisah pilu para korban yang selamat dari Topan Haiyan

Keluarga Buwanghog mengais sisa-sisa kayu yang bisa digunakan untuk membangun kembali rumah mereka.

 

Rochelle Buwanghog, 20, duduk di atas reruntuhan yang dulunya adalah rumahnya, yang terletak di Desa Sagcahan, Tacloban City. Bau menyengat dari delapan mayat yang membusuk di dekatnya menembus di tengah panasnya sinar mentari, tapi itu tidak mengurungkan niat Rochelle.

Dengan hanya bertahan hidup dari biskuit dan air yang diberikan teman-temannya, Rochelle menunggu kabar kakak dan suaminya, serta dua anak mereka yang hilang setelah topan Haiyan memporak-porandakan kota itu pada 8 November.

“Aku tidak akan pergi dari sini sampai aku melihat adikku,” pintanya.

Tempat-tempat yang dulunya digunakan untuk menjadi jalan kini penuh dengan puing-puing bangunan dan mayat yang berserakan.

Dua remaja putri mendekati dia dan mengatakan “Rochelle, Rochelle, mereka menemukan adikmu,” seru para gadis itu sambil meneteskan air mata. “Dia ada di sini,” kata salah seorang gadis sambil menunjukkan kantong mayat yang dibawa oleh dua polisi.

Rochelle berdiri, dan ia hampir jatuh ketika berjalan melewati papan kayu di atas setumpukkan puing yang digunakan sebagai jembatan. “Bagaimana dengan anak-anakku,” seru Rochelle. “Apakah anak-anakku berada di sana?

“Mereka sudah menemukan adikku,” kata Rochelle, dengan hati-hati berjalan menuju tempat lain. “Mereka menemukan saudaraku,” katanya kepada ayahnya yang sedang mengambil potongan-potongan kayu.

“Mereka tidak terpisah,” kata Norberto Buwanghog, 65, ayah Rochelle. “Mereka seperti kembar,” tambahnya, seraya menggelengkan kepalanya. “Tapi, apa yang bisa kita lakukan sekarang? Kita harus menyerahkan (otoritas) untuk memakamkan mereka di pemakaman umum,” katanya.

Norberto terus mengambil potongan-potongan kayu dan besi yang pernah digunakan menjadi rumahnya bersama Rochelle, adiknya Linda dan suaminya Ernesto, dan dua anak mereka, yang berusia delapan dan tiga tahun.

“Apa yang bisa saya lakukan?” bisiknya. “Saya harus membangun tempat penampungan bagi kami yang masih hidup,” katanya, sambil memanggil putranya, Eddie berusia 32 tahun, yang sedang berjuang mengais kayu dan paku di sekitarnya.

Satu jam kemudian, duduk di atas puing-puing yang sama yang dulunya adalah rumahnya, Rochelle mengenang adiknya. “Kami selalu bersama-sama,” katanya sambil menangis. “Kami tidak akan pernah bersama lagi.”

Eddie mengatakan bahwa mereka mungkin dapat membangun kembali rumah mereka, tetapi mereka tidak bersama lagi dengan anggota keluarga lain.

Warga Buwanghog berjumlah sekitar 2,2 juta keluarga atau sekitar 10 juta orang  dari 10.560 desa di 44 provinsi yang telah dipengaruhi oleh kerusakan hebat akibat topan Haiyan.

Data dari Pengurangan Risiko Bencana Nasional dan Dewan Manajemen menunjukkan bahwa 3.982 orang telah dilaporkan tewas, 18.266 cedera, dan 1.602 orang masih hilang.

Sebanyak 295.590 rumah dilaporkan hancur dan 301.650 telah rusak, demikian data terbaru dari pemerintah. Sementara itu, 89.785 keluarga atau 418.988 orang tinggal di 1.595 pusat evakuasi.

Sementara banyak orang memilih untuk tinggal dan membangun kembali rumah mereka di tengah puing-puing dimana bau mayat menyengat dari bawah puing-puing rumah yang hancur, sebagian meninggalkan Tacloban, yang kini mereka melukiskan sebagai “kota hantu.”

Jennifer Lachica, 31, ibu dari seorang anak berusia enam bulan, mengatakan dia melarikan diri karena “tidak ada orang kecuali hantu dari banyak orang yang meninggal.”

Dia memeluk bayinya erat-erat dengan tangan kirinya sambil berpegangan pada suaminya dengan tangan kanannya ketika pesawat kargo C-130 dari Angkatan Udara Swedia lepas landas dari Tacloban menuju kota terdekat Cebu menyusul persediaan makanan menurun.

“Orang-orang asing menyelamatkan kami,” kata Jennifer dalam penerbangan itu. “Pemerintah kami tampaknya bingung. Kami tidak menerima bantuan selama sembilan hari.”

Jennifer adalah salah satu dari ribuan orang yang sedang menunggu selama berhari-hari untuk diterbangkan dari bandara Tacloban. Dengan hanya tiga pesawat kargo C – 130, dan tidak ada penerbangan komersial ke dan dari kota yang hancur itu selama beberapa hari pertama setelah bencana.

Departemen Luar Negeri mengatakan 43 donor asing telah berjanji atau sudah mengirimkan bantuan untuk mendukung bantuan yang tengah berlangsung dan operasi pemulihan, dengan membantu  127 juta dolar Amerika ke negara itu.

Bank Dunia juga mengumumkan bantuan sebesar 500 juta dolar dalam pinjaman untuk mendukung upaya rekonstruksi “dan membantu Filipina dari berbagai peristiwa cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi,” kata Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim dalam sebuah pernyataan.

Amerika Serikat (AS) telah memimpin upaya bantuan. Sekitar 50 kapal dan pesawat AS telah dikerahkan ke zona bencana, termasuk pesawat 10 C-130, Osprey 12 V-22 dan helikopter Seahawk 14 untuk mesuplai logistik dari udara –  dan juga USS George Washington di pantai Leyte.

Namun, para korban yang selamat terus mati-matian berebut makanan dan air, serta kebutuhan dasar lainnya. Meskipun pengumuman pemerintah bahwa barang bantuan tersebut akan dibagikan, namun mereka mengatakan bantuan itu tidak cukup.

Allan Refaca, 30, mengatakan bahwa ia membutuhkan palu dan paku untuk membangun kembali rumahnya.

Refaca tinggal di tempat penampungan sementara bersama lima anggota keluarga yang lain di pinggir jalan kota itu menuju bandara.

“Kami sudah terbiasa dengan bau mayat, tapi berapa lama lagi?” kata istrinya, Maribeth, yang makan siang berada beberapa meter dari jenazah yang membusuk.

Sekitar 10 kilometer dari kota itu, polisi dan tentara membawa mayat-mayat ke tempat pemakaman massal di bukit dimana sekitar 500 mayat dikumpulkan sejak pekan lalu.

Sementara banyak orang ingin meninggalkan daerah bencana itu, namun lebih banyak dari mereka yang memilih untuk tetap tinggal dan membangun kembali rumah mereka.

“Kami tidak akan pergi. Ini adalah rumah kami. Kami akan bangkit kembali,” ujar Sienna Casio, 23, ibu dari tiga anak, yang sedang menunggu perawatan medis di rumah sakit pemerintah Tacloban. “Keluarga dan tetangga semuanya telah hilang.”

Sumber: Haiyan survivors search for home amid the rubble

 

 

 

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi