UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Demokrasi Pasar

April 8, 2014

Demokrasi Pasar

Emanuel Berkah Caesario

 

Menjelang berakhirnya masa kampanye, pada 3 April lalu, Polri menyidik 21 tindak pidana pemilu setelah pekan sebelumnya menangani kurang dari 10 kasus. Mayoritas bentuk pelanggaran adalah politik uang.

Meski dilarang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta, diam-diam masih banyak terjadi politik uang dalam setiap pemilu kita. Telah menjadi rahasia umum, para caleg berlomba mendapatkan simpati pemilih melalui strategi politik uang. Aksi “serangan wajar” sudah jadi rahasia umum.

Citra politik yang demikian menjadikan demokrasi Indonesia dalam momen pemilu bukan lagi menampilkan kedaulatan rakyat melainkan pasar suara.

Politik uang menjadi kian subur karena didukung oleh mentalitas masyarakat yang pragmatis. Siapa yang menguntungkan mereka secara pribadi, itulah yang dipilih. Caleg yang punya lebih banyak uang, punya lebih banyak kesempatan untuk membeli suara.

Tanpa disadari, sebenarnya disini terjadi proses manipulasi dan pembodohan publik. Ketika para caleg berlomba-lomba membeli suara para masyarakat pemilih, secara apriori masyarakat bukan lagi dilihat sebagai warga negara, melainkan angka suara.

Cara-cara licik politik uang juga berangkat dari pengandaian bahwa masyarakat adalah orang-orang bodoh yang tidak paham dan mudah diperdaya. Tidak ada gunanya memaparkan visi dan misi realistis secara argumentatif, sebab masyarakat pemilih adalah orang-orang kelaparan yang tidak dapat mencerna argumentasi sebelum perut mereka terisi. Beri saja mereka uang dan semuanya beres. Masyarakat yang bersikap pragmatis semakin menegaskan klaim tersebut.

Akar masalah pengkhianatan terhadap demokrasi ini boleh jadi terletak pada mentalitas masyarakat yang acuh tak acuh terhadap politik.

Tetapi, kita juga mesti segera sadar bahwa  sikap acuh tak acuh masyarakat itu tidak dapat dilepaskan dari citra politik di Indonesia yang penuh intrik licik dan tipu muslihat.

Akibatnya masyarakat muak dan tidak lagi berminat terhadap politik, ditambah kurangnya pendidikan politik, pengetahuan terhadap politik pun masih sangat minim.

Masyarakat kita tidak menganggap diri sebagai bagian dari politik dan tidak pula merasa perlu ikut bertanggungjawab. Di momen pemilu, lantas bersikap pragmatis tanpa banyak peduli terhadap masa depan bangsa mencuat.

Selain itu, tentu faktor kemiskinan juga punya peranan besar. Momen pemilu ditunggu-tunggu oleh sebagian warga miskin dengan harapan besar akan memperoleh uang dari para caleg. Mereka hanya sekadar memanfaatkan peluang sebab negara abai terhadap nasib mereka.

Indonesia jelas butuh banyak pembenahan. Banyak orang yang hanya mencaci maki politik dan politikus tanpa tindak lanjut apa pun. Namun di saat pemilu mungkin malah mereka yang duluan berebut uang dari caleg. Akibatnya, pada saat pemilu, praktek demokrasi lebih dominan dengan aktivitas transaksi, layaknya pasar.

Penguatan masyarakat warga yang semakin sadar politik jelas adalah agenda besar yang mesti diperjuangkan.

Masyarakat demokratis dicirikan oleh kepedulian sosial, kesadaran politik, integritas, sikap kritis dan bertanggung jawab. Sikap pragmatis jelas bukan sikap warga negara ideal.

Bahwa kenyataannya justru sikap pragmatis berkembang subur menandakan bahwa ada cacat dalam demokrasi kita. Bisa jadi sebagian rakyat pragmatis bersikap lihai dengan menerima uang tetapi tidak otomatis memilih caleg yang memberi uang. Tetapi sikap menerima uang seperti itu juga adalah bentuk dukungan terhadap sistem yang korup.

Rakyat yang permisif terhadap cara-cara curang berpolitik secara tidak langsung ikut bersalah dalam drama kebobrokan negara. Bila saat kampanye rakyat menerima uang yang dibagi para caleg, mengapa heran bahwa saat terpilih nanti para caleg itu akan merebut uang itu kembali dengan cara-cara licik dan berselingkuh dengan oknum-oknum pasar pemilik modal dan bisnis?

Sudah banyak diberitakan tetang kasus korupsi yang menjerat sejumlah oknum wakil rakyat. Mereka tidak menampilkan jiwa nasionalisme selain mental instan dan sikap tidak bertanggungjawab.

Indonesia memiliki segudang masalah yang untuk mengatasinya bagaikan mengurai benang kusut. Fungsi pemerintahan jelas punya peran sentral dan strategis, sehingga pemilu jadi momen kunci.

Bila yang terpilih adalah oknum-oknum pembela kepentingan diri semata, tidak akan ada perubahan signifikan di masa depan. Para pemilih dituntut untuk benar-benar cerdas dalam memilih. Mentalitas abai terhadap politik mesti dikikis. Bila institusi pemerintah atau partai-partai yang ada tidak banyak berperan dalam pendidikan politik, mestinya masing-masing pribadi warga negara bersikap proaktif.

Seorang warga negara yang peduli akan mencari tahu latar belakang dan rekam jejak para calon legislator dan menentukan pilihan berdasarkan rasionalitas, bukan lagi atas dasar kesukuan, agama, relasi, kepentingan atau keuntungan pribadi. Ini tentu butuh usaha ekstra dan tidak ada tempat bagi sikap tak acuh.

Untuk sampai di situ, persoalan di akar rumput mesti diatasi, mulai dari akses pendidikan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Emanuel Berkah Caesario, Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta. Kontak: [email protected]

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi